Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah. Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya yang kuat kepada Allah Ta’ala 2 minutes. 1 pt. Makna al-Wakil dalam asmaul husna adalah . bahwa Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemurah yang memberi anugerah atau rezeki kepada semua makhluk-Nya. Dia Maha Pemberi rasa aman kepada semua makhluk-Nya, terutama kepada manusia. Allah yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia Saat Berharap, Serahkan Segala Urusanmu Hanya kepada Allah. Redaksi 12 Desember 2020. Inspirasi. Mitrapost.com – Manusia tak pernah lepas dari hal keduniawian. Berharap ini dan itu, menginginkan menjadi yang terbaik, mempunyai harta berlimpah, mempunyai keluarga bahagia dan hal-hal duniawi lainnya. Untuk mendapatkan semuanya, manusia seperti Berharap kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memang satu-satunya tempat berharap. Bukan kepada manusia. Sekalipun mereka tampak cukup segala-gala, bukan berarti benar menjadikan mereka sebagai tempat berharap. وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ InI kerana ketika di akhirat, rahmat Allah hanya khusus untuk orang yang beriman. Azab Allah ﷻ yang dikenakan ke atas orang yang tidak beriman pada hari akhirat kelak tidak bertentangan dengan sifat rahmat Allah bahkan ia menunjukkan sifat adil Allah SWT. Menjadi kewajipan kita untuk terus menerus menyampaikan risalah Islam. kpvU. Mencegah kecewa, jangan berharap pada manusia cukup Allah saja. Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia Kita pasti pernah berharap kepada sesama manusia. Misalnya berharap kenaikan gaji? Berharap promosi jabatan? Berharap dicintai balik? Namun, apa yang kita rasakan ketika keinginan tersebut tidak terwujud? Atau hanya menjadi lamunan semata? Pastinya kecewa, sedih dan marah kan? Kenapa hal itu bisa terjadi? Mempunyai harapan dan cita-cita adalah hal yang normal. Namun bila terlalu berharap kepada orang lain, maka kita akan selalu memikirkan itu bahkan sampai terobsesi dan lupa pada kenyataan. Jika sudah lupa pada kenyataan akan membuat akal sehat kita tertutup. Padahal kenyataan tidak selalu indah. Bisa saja harapan tersebut sirna dan membuat stress dan kecewa. Lalu sebaiknya apa yang harus dilakukan supaya tidak terlalu berharap pada manusia? supaya mencegah rasa kecewa dan marah? apalagi ketika harapan selama ini tak menjadi kenyataan? Rasa kecewa muncul apabila menggantungkan harapan yang terlalu tinggi pada orang lain. Padahal orang tersebut adalah manusia biasa yang memiliki kekurangan. Mereka sama seperti kita, makhluk tak berdaya tak berkekuatan kecuali atas izin Allah SWT. Karena itu mari kita kurangi berharap besar pada orang lain. Cukup Allah saja. “Berharap kepada manusia” adalah ungkapan yang mengindikasikan bahwa seseorang mengharapkan sesuatu dari orang lain. Ini bisa berupa dukungan, bantuan, atau sesuatu yang lainnya. Namun, seringkali orang merasa kecewa atau kehilangan harapan mereka ketika orang lain tidak dapat memenuhi harapan atau tidak memberikan apa yang diharapkan. Ada beberapa hal yang perlu diingat ketika seseorang berharap kepada manusia Orang lain tidak selalu dapat memenuhi harapan kita. Mereka mungkin sibuk, tidak memiliki waktu, atau tidak memiliki kemampuan untuk membantu. Mengharapkan terlalu banyak dari orang lain dapat menyebabkan kekecewaan dan rasa tidak puas. Lebih baik untuk tidak mengharapkan terlalu banyak dari orang lain dan mencoba untuk mencari solusi sendiri jika memungkinkan. Tidak selamanya orang lain akan memberikan apa yang kita harapkan. Mereka mungkin memiliki pendapat yang berbeda atau kepentingan yang tidak sama dengan kita. Seringkali lebih baik untuk tidak terlalu bergantung pada orang lain dan belajar untuk mengelola harapan kita sendiri. Ini dapat membantu kita untuk lebih cepat move on dan menemukan solusi lain jika harapan kita tidak terpenuhi. Baca Juga 46 Kata Kata Pasrah Islami dari Al-Quran dan Para Ulama Alquran Diturunkan Selama Berapa Tahun? Pengertian & Fungsi Al-Qur’an Jangan Berharap pada Manusia Simak nasihat-nasihat bijak Sayyidina Ali dan Imam Syafii ini Sayyidina Ali pernah berkata “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.” Ali bin Abi Thalib Imam Syafi’i berkata “Ketika kamu berlebihan berharap pada seseorang, maka Allah akan timpakan padamu pedihnya harapan-harapan kosong. Allah tak suka bila ada yang berharap pada selain Dzat-Nya, Allah menghalangi cita-citanya supaya ia kembali berharap hanya kepada Allah SWT.” Sebaik-baiknya berharap hanyalah kepada Allah Ustadz Hanan Attaki Memberikan petuah tentang hal ini berharap sama Allahkarena berharap sama manusiaemang selalu ada sisi kecewanyawalaupun orang yang kita harapin itu orang baikbisa aja orang baik itu ngecawain kita bukan karena jahat, tapi karena dia manusiadia bisa lupa, dia bisa lelah, kadang-kadang juga lagi lemahsehingga dalam kondisi kayak gitu kita tetep dikecewakan, walaupun dia ga ada niat ngecewain kitatapi kalau berharapnya ke Allah, harusnya sih ga ada kata menyerah dan menyesal ataupun menderita secara berlebihanselalu ada “khair” setelahnyakarena ada para sahabat yang ngelamin kayak gitu, disakiti dia selalu bisa keluar ketika melibatkan ALlah SWTjadi, libatkan Allah dalam segala kondisiberharap yang terbaik, baca doa musibah, insha Allah diberikan jalan keluar dan ganti yang lebih baik. Allah berfirman dalam surat Al insyirah ayat 8 وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ “dan hanya kepada Rabb-mu hendaknya kamu berharap” Pernahkah kita berdoa meminta pada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Allah SWT adalah Rabb sang Pencipta ummat manusia dan seluruh makhluk di dunia ini. Dia Maha Mendengar Doa para hamba-Nya. Dialah Allah Khalik di alam semesta ini. Apabila seseorang hanya berharap kepada Allah, maka Inshaa Allah apapun hasilnya, kita akan pasrah dan tenang, karena itu sudah kehendak-Nya. Seseorang akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah. Sekalipun yang diterima adalah berlawanan dengan apa yang diinginkannya. Jangan berharap pada manusia, cukuplah pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu Alam. Ilustrasi berdoa. Foto ShutterstockSetiap manusia memiliki permasalahan hidupnya masing-masing. Ada kalanya ujian hidup yang dihadapi membuat seseorang putus asa. Namun, di tengah kesulitan tersebut, umat Muslim diajarkan untuk berharap hanya kepada Allah ajaran Islam, Allah SWT merupakan satu-satunya tempat bersandar kaum Muslimin. Saat sedang sedih dan terpuruk, Allah yang menjadi penyelamat dan bisa membantu umat-Nya menyelesaikan apa pun masalah mereka. Bahkan, Zahrana an-Ni'mah dalam buku Jalan Membeli Bahagia menuliskan, berharap kepada manusia adalah patah hati yang paling disengaja. Maksudnya, meski Allah memberi pertolongan melalui perantara manusia atas seizin-Nya, kuasa manusia tidak sebesar kuasa-Nya. Jadi, akan sangat mengecewakan jika keinginan yang diharapkan tidak berdoa. Foto Billion Photos/ShutterstockBerbeda jika berharap kepada Allah. Meski harapannya tidak sesuai, tidak ada rasa kecewa yang muncul, sebab Allah akan mengganti dengan rencana-Nya yang lebih indah. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam salah satu riwayatnya“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” HR. Ahmad 5 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahihDalam Al Quran, ada beberapa ayat jangan berharap kepada manusia yang bisa dijadikan pegangan umat Muslim. Berikut kumpulan Jangan Berharap kepada ManusiaIlustrasi ayat jangan berharap kepada manusia Foto Shutterstock1. Al Ikhlas Ayat 2-4اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ 1 لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ 2 وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ 3Artinya “Allah tempat meminta segala sesuatu. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”Mengutip buku Pendidikan Agama Islam Al Quran Hadis tulisan Abd. Wadud, ayat kedua Surat Al Ikhlas mengajarkan umat Muslim bahwa tempat bergantung, tempat bersandar, dan tempat meminta pertolongan hanyalah kepada Allah, tanpa perantara, sekalipun perantaranya serupa juga disampaikan melalui ayat ketiga dan keempat. Dikatakan, Allah adalah Zat yang Esa yang tidak beranak dan diperanakkan, maka hanya kepada-Nya-lah manusia berharap, bergantung, serta meminta pertolongan dan Al Insyirah 8وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْArtinya “Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.”Menurut tafsir Kemenag, dalam ayat tersebut Allah menegaskan agar Nabi Muhammad hanya menuntut keridhaan Allah semata. Sebab, hanya kepada-Nya-lah manusia merendahkan Al Maidah 23ilustrasi berdoa. Foto Nong2/Shutterstockقَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَArtinya “Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, Serbulah mereka melalui pintu gerbang negeri itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.”Melalui ayat ini, Allah memperingati manusia untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Bagi mereka yang mematuhinya, niscaya akan diberi kenikmatan oleh Allah Al Ankabut 41مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ وَاِنَّ اَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَArtinya “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”Kaum musyrikin yang menyembah berhala atau selain Allah untuk mewujudkan harapan mereka diibaratkan seperti rumah laba-laba, yaitu rumah yang paling rapuh dan lemah untuk hanya kepada Allah surat apa?Kenapa kita tidak boleh terlalu berharap kepada manusia?Apakah boleh berharap kepada manusia menurut Islam? KHUTBAH JUMAT Hanya Berharap Kepada Allah الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِالْأَمْوَالِ، وَأَبَاحَ لَنَا التَّكَسُّبَ بِهَا عَنْ طَرِيْقِ حَلاَلٍ، وَشَرَعَ لَنَا تَصْرِيْفَهَا فِيْمَا يُرْضِيْ الْكَبِيْرَ الْمُتَعَالَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَكْرَمُ النَّاسِ فِيْ بَذْلِ الدُّنْيَا عَلَى الْإِسْلاَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَأَدُّوْا مَا أَوْجَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ فِيْ أَمْوَلِكُمْ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Kita bersyukur kepada Allah yang masih memberikan iman dan islam di dalam jiwa dan raga. Dua karunia sebagai bekal Sentosa di dunia dan alam setelahnya. Allah juga masih memberi kita nikmat aman menjalankan syariat agama. Menunaikan shalat tanpa todongan senjata, membaca quran dan mengagungkan syiar islam tanpa takut hilang nyawa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti sunah Rasulullah hingga hari kiamat. Tak lupa khatib mewasiatkan takwa kepada diri khatib pribadi dan kepada jamaah semua, lantaran takwa menjadi bekal terbaik untuk menghadap sang pencipta. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Istilah fakir, sering diidentikkan dengan orang yang tidak memiliki harta yang cukup untuk kelangsungan hidup secara layak. Karenanya, dalam aturan fikih orang fakir berhak menerima zakat. Inilah satu makna dari fakir, tidak memiliki harta yang bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Namun makna kefakiran yang lebih umum adalah ibaaratun an faqdi maa huwa muhtaajun ilaihi’, ungkapan terhadap ketiadaan sesuatu yang dibutuhkan, seperti yang dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’-nya. Dari sudut pandang ini, seseorang cukup dikatakan fakir ketika masih ada kebutuhan atau keperluan yang belum bisa ia dapatkan. Maka tidak diragukan lagi, bahwa segala yang ada selain Allah Ta’ala adalah fakir. Firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ [فاطر/15] “Wahai manusia, kamulah yang fakir kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu lagi Maha Terpuji.” QS. Faathir 15 Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Sisi kefakiran manusia bisa dibilang nyaris atau bahkan tak terhingga, karena hajat keperluan manusia memang tak ada hingganya. Selalu ada tuntutan kebutuhan yang ingin diraihnya, sebagai apapun dan kapanpun ia berada. Yang sakit butuh sembuh, yang sehat ingin berkarya. Yang miskin ingin kaya, yang kaya ingin wibawa. Karyawan butuh pekerjaan, pengusaha pun butuh karyawan. Rakyat mengharap bantuan pejabat, pejabat juga butuh dukungan rakyat. Yang bujang ingin menikah, yang menikah ingin memiliki anak, yang memiliki anak ingin juga agar anak bisa berbakti kepadanya. Dan begitulah, setiap manusia memiliki sisi kefakiran, selalu ada kebutuhan yang ingin diraihnya. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Karena fakirnya manusia, maka tatkala manusia membantu orang lainpun, sebenarnya ia lakukan demi membantu dirinya sendiri. Karena tak ada bantuan tanpa pamrih, tak ada pertolongan yang murni tanpa tendensi. Dengan kata lain, ketika sesorang berbuat baik kepada orang lain, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung sejatinya kebaikan itu hanyalah jembatan yang ia gunakan untuk membantu dirinya sendiri mendapatkan apa yang ia butuhkan. Yang membedakan manusia dari sisi ini hanyalah jenis tendensi yang dmiliki dan lebih khusus lagi, kepada siapa harapan itu ditujukan. Ada seseorang yang berbuat baik kepada orang lain, tapi tujuan ia membantu karena ingin mendapat sesuatu yang sama atau lebih dari orang yang dibantunya. Seandainya tak ada gambaran keuntungan yang bisa diharapkan dari orang yang hendak dibantunya, niscaya ia tidak akan membantunya. Seperti membantu tetangga dalam penyelenggaraan resepsi agar kelak tetangga membantunya pula saat ia menyelenggarakan resepsi. Memberi kado pernikahan agar saat dia menikah juga mendapat kado balasan. Atau mengulurkan bantuan kepada orang lain agar yang dibantu bisa memberikan peluang pekerjaan, dan masih banyak lagi kasus yang lain. Singkatnya, sebenarnya ia yang membutuhkan bantuan, lalu dia membantu orang lain agar kebutuhnnya terpenuhi. Balasan yang diharapkan, tak selalu berupa materi. Karena ada orang-orang yang sudah berkecukupan secara materi, tapi masih membutuhkan ucapan terimakasih, butuh pengakuan, penghormatan, penokohan atau hanya sekedar kalimat pujian. Seandainya bantuannya tidak membuahkan apa yang mereka kehendaki, niscaya akan ada keluhan dan penyesalan. “Si fulan tidak tahu terimakasih…air susu dibalas air tuba…kacang lupa kulitnya,” dan banyak lagi keluhan senada dilontarkan. Dan selagi seseorang membantu orang lain agar orang lain membantunya, dia harus bersiap-siap untuk kecewa. Karena manusia banyak lupa akan jasa orang lain terhadapnya. Dan sebagian lagi tidak menganggap istimewa bantuan kita, dan yang lain memang tidak pandai berterimakasih. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Yang paling istimewa adalah orang yang membantu orang lain, namun dia berharap gantinya kepada Allah. Tak masalah baginya membantu orang yang sudah dikenal atau belum dikenalnya, ada potensi balas budi atau tidak, baginya tidak menjadi soal, karena bukan balasan dari mereka yang diharapkan, tapi balasan dari Allah. Seperti perkataan al-abraar’ orang-orang yang berbakti dalam firman-Nya, إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” QS. al-Insan 9 Dia tidak menjadi sedih lantaran kebaikannya tak dibalas secara layak, tidak disambut dengan ucapan terimakasih, atau bahkan mendapat perlakuan yang sebaliknya. Karena memang bukan dari mereka balasan diharapkan. Mereka yakin, Allah tidak melupakan kebaikannya, akan menghargai usahanya dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik, dan Allah tidak pernah salah dalam mengkalkulasi kebaikan pelakunya. Dan hanya Allah yang bisa membalas kebaikan dengan sempurna, bagi orang yang memang berharap kepada-Nya. Firman Allah Ta’ala, وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٢﴾ “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya dirugikan.” QS. al-Baqarah 272 Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Begitu dalamnya penghayatan seorang ulama tabi’in Rabi’ bin Khutsaim dalam persoalan ini. Hingga di saat sakit, ia memberikan roti kesukaannya kepada seorang pengemis tua yang tampak kurang waras. Hingga anaknya berkata, “Semoga Allah merahmati ayah, ibu telah bersusah payah membuatkan roti istimewa untuk ayah, kami sangat berharap agar ayah mau menyantapnya, namun tiba-tiba ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya.” Beliau menjawab dengan bijak, “Wahai putraku, kalaupun ia tidak tahu apa yang dimakannya, maka sesungguhnya Allah Maha Tahu.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Begitulah, semua manusia memang fakir, akan tetapi hendaknya kefakiran kita tertuju kepada Allah, bukan kepada makhluk yang sama-sama fakir. Ya Allah, rahmat-Mu senantiasa kami harapkan, maka janganlah Engkau serahkan nasib kami kepada kami sendiri meskipun sekejap mata. Perbaikilah urusan kami seluruhnya, tiada ilah yang haq kecuali Engkau. Aamiin. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ KHUTBAH KEDUA إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَىخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمْسُلْماتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُم واَلأَمْوَاتِ اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين Sebagai makhluk yang disebut manusia, kehidupan yang kita jalani sejauh ini merupakan sebuah perjalanan yang terikat oleh ruang dan waktu. Selalu berkaitan dengan dimana dan kapan. Secara umum, manusia dengan kecerdasan akalnya kemudian memperiodesasikan waktu dari satuan terkecil sampai terbesar dari mulai hitungan detik sampai tahun. Yang mana menurut hemat penulis ini menjadi kemudahan tersendiri bagi manusia untuk bisa lebih berharap bersikap efektif dan efisien dalam menjalani kehidupan yang kompleks ini. Dalam periodesasi hitungan detik, menit, atau jam, mungkin tak akan menjadi suatu hal yang menarik; jika kemudian menjadi bahan pembahasan ataupun pembicaraan hal layak pada umumnya. Namun jika membicarakan soal tahun maka semua mata akan tertuju salah satunya pada masa akhir dari setiap tahunnya. Selain daripada terdapat perayaan natal bagi umat nasrani dan juga menjadi hari libur bagi siswa-siswi sekolah dasar hingga menengah, moment pergantian tahun di setiap tahunnya pasti seakan menjadi moment yang seakan spesial dan diistimewakan. Tak bisa dipungkiri, misal kita saksikan lewat media sosial kita saja, betapa banyak orang-orang diluar sana; yang sudah memilik planing berlibur/bersenang-senang sejakjauh-jauh hari, menyiapkan petasan atau kembang api, dan segala aktivitas-aktivitas lainnya dengan label tahun baruan’. Fenomena semacam itu memang tak bisa terelakan dan seakan sudah menjadi seperti budaya di kalangan kaum muda khususnya. Karena memang di satu sisi biasanya bertepatan dengan hari libur, di sisi lain ada moment perayaan kembang api yang notabenenya menjadi perhatian di akhir malam bulan Desember tersebut. Hati-Hati, Berharap Pada Tuhan atau Tahun? Namun, terlepas dari fenomena-fenomena tahun baruan diatas sebenarnya ada satu hal menarik lainnya yang agaknya juga patut mendapat perhatian khusus. Fenomena berharap pada tahun yang akan datang mungkin juga tak asing terdengar ataupun terlihat lewat teks-teks di laman media sosial ataupun lainnya. Fenomena semacam ini biasanya berisikan narasi pengharapan pada tahun berikutnya agar tidak terjadi hal-hal – biasanya yang negatif menurut subyeknya masing-masing – yang sudah terjadi dalam kurun waktu 12 bulan terakhir mereka jalani. Isi dari setiap pesannya memang hampir sebagian besar pesan positif dan membangun. Momen di penghujung tahun memang dirasa oleh banyak orang; sebagai moment yang tepat tuk merekap apa-apa yang telah dilaluinya dan dijalaninya selama setahun tersebut. Maka kemudian tak aneh jika banyak pula yang punya harapan besar tuk dirinya di tahun yang akan datang. Namun yang perlu diperhatikan dari fenomena tersebut tentunya jika permohonan/pesan ditujukan dengan berharap pada tahun yang esensinya hanya sebuah satuan waktu, bukan pada Tuhan sebagai pengatur waktu tersebut, tentu ini keliru. *** Dan amat disayangkan sebenarnya jika ini turut dilakukan oleh umat muslim khususnya kaula muda yang mudah mengikuti euforia. Bukan maksud memberi pelarangan, karena tentunya berharap/memohon akan suatu hal yang lebih baik; merupakan sudah menjadi naluri dari manusia dan juga merupakan perbuatan yang positif. Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallaahu anha, Rasulullah pun bahkan pernah mengajarkan sebuah doa kepadanya; yang mana isinya beliau meminta akan hal-hal baik dan memohon tuk dilindungi dari hal-hal buruk. Dan tentu yang kemudian membedakan apa yang Rasulullah ajarkan ialah pengharapannya yang tertuju pada Allah dan doanya pun; tanpa spesifikasi terkait kapan pengaplikasiannya. Inilah yang semestinya turut juga diamalkan dan dilakukan oleh setiap muslim dimanapun berada. Sudah barang tentu menjadi perhatian jikalau setiap permohonan dan pengharapan itu disandarkan dan ditujukan hanya kepada Allah selaku Sang Penyayang. Euforia yang biasa terjadi di akhir tahun ini sudah seharusnya ditanggapi dengan lebih bijak dengan tetap berpijak pada jalan Islam. Pengarahapan yang kita ucapkan perlulah kita niatkan dan sandarkan semata kepada Allah. Begitupun jika pengharapan kita terbingkai dalam satuan waktu tertentu. Sehingga kemudian kita pun akan teringat bahwa perubahan yang kita harapkan pun; tentu atas seizin-Nya dan bukan ruang ataupun waktu yang menghendaki. Berharap Hal Baik Tak Perlu Tunggu Akhir Tahun Sama halnya dengan momentum kembang api di penutup malam terakhir bulan Desember, fenomena berseliwerannya narasi-narasi membangun yang ditujukan tuk setiap dirinya masing-masing akan hal-hal baik yang diinginkannya merupakan suatu hal yang tak kan asing kita jumpai di setiap penutup akhir tahun. Setiap orang punya harapannya masing-masing yang biasanya berangkat dari keresahan, kegelisahan, ataupun kecemasan yang sudah dirasakannya. Maka hal tersebut nampaknya jika dalam Islam kita kenal sebagai bentuk muhasabah diri atau dalam istilah umumnya bisa juga disebut sebagai kontemplasi. Dalam Islam sendiri muhasabah diri atau merenungi segala perbuatan yang telah diperbuat untuk kemudian diperbaiki merupakan sebuah anjuran. Sebagaimana termaktub dalam surat Al-Hasyr [59] ayat 18 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok akhirat. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”. Kutipan ayat tersebut merupakan perintah tuk bertakwa sekaligus anjuran bagi kita selaku muslim untuk memperhatikan muhasabah diri setiap apa-apa yang kita lakukan. *** Jelaslah dalam ayat tersebut pun bahwa anjuran untuk memperhatikan setiap perbuatan yang hendak dan juga; yang telah kita lakukan tidak terikat akan waktu-waktu khusus. Juga dalam doa-doa terkait memohon suatu kebaikan atau perlindungan akan hal buruk pun; nampaknya tidak ada anjuran atau arahan untuk melakukan doa tersebut di saat-saat tertentu. Maka dari itu, sudah semestinya euforia evaluasi diri di penghujung tahun yang dilanjutkan dengan permohonan akan hal-hal yang lebih baik lagi di kemudian hari tidak hanya hadir ketika dekat moment pergantian tahun. Melainkan sudah tentu harus dilakukan juga di hari-hari biasa atau bahkan setiap hari. Dan perlu diingat, ini bukan berarti melarang memohon harapan di saat penghujung tahun tiba. Namun hanya sekadar bagaimana kita arif & bijak menyikapi fenomena tersebut dengan nafas Islam. Yakni dengan meniatkan dan menyandarkan pengharapan tersebut hanya kepada Allah semata dan juga tidak hanya melakukannya di setiap menjelang penutup tahun saja. Melainkan harus juga dilakukan setiap harinya atau di hari-hari biasanya. Karena sejatinya diri kita tak perlu menunda-nunda dalam hal evaluasi diri. Selalu ada kesalahan pastinya di setiap hari-hari yang kita lalui. Dan sebaik-baiknya tempat untuk memohon ampun dan berharap akan sesuatu yang lebih baik terebut tidak lain dan tidak bukan tentu hanya kepada Allah SWT. Editor An-Najmi

berharap hanya kepada allah bukan manusia